Wednesday 24 September 2014

My Opinion

Beberapa hari ini sedang hangat-hangatnya konsep dasar atau kesepakatan MATEMATIKA dibicarakan berbagai pihak baik di sosial media maupun dunia pendidikan. Berbagai komentar datang dari banyak pihak baik yang kurang ataupun sangat memahami disiplin ilmu matematika itu sendiri. Masyarakat luas seperti pelajar, mahasiswa, orang tua murid, dosen, atau bahkan guru besar  juga ikut urun rembug dalam permasalahan ini. Mereka tak mau tertinggal menyatakan segala opini, pendapat, dan pemahaman mereka terkait permasalahan yang sedang beredar hangat-hangatnya seperti gorengan(*ups) dan pastinya termasuk saya juga ikut-ikutan.  #hehe

Untuk menghangatkan kembali gorengan yang lagi beredar,  kurang lebih permasalahannya adalah sebagai berikut:
Beberapa hari yang lalu seorang kakak meng"upload" hasil PR (pekerjaan rumah) adiknya yang mendapat nilai 20. Ia yang telah mengajari dan membimbing adiknya mengerjakan PR (mungkin) tak percaya dengan hasil nilai yang diperoleh adiknya. Terlebih lagi sebagian besar PR adiknya disalahkan oleh sang guru. Sang kakak yang notabene membantu sang adik mengerjakan PR sudah tentu tak terima dengan melihat kesalahan pada PR yang menurutnya bukan konsep matematika yang pantas untuk disalahkan.



Sebagai contoh soal pertama yaitu

4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = .... x .... = ....

Sang kakak mengajari adik dengan cara

4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6 = 24
Cara tersebut ternyata disalahkan oleh sang guru. Karena 4 x 6 ≠ 6 x 4. Bagi sang kakak konsep tersebut sama saja dan tak pantas untuk disalahkan.
Berbagai tanggapan menghujani masalah ini ada yang pro dan ada yang kontra. Ada yang mendukung sang kakak bahwa permasalahan tersebut bukan suatu hal yang dapat menjadi alasan menyalahkan PR dari anak SD kelas II.  Namun, banyak juga yang mendukung pemahaman guru tentang konsep matematika tersebut.



Banyak dosen, guru besar, profesor, dan bahkan dosen saya yang notabene pembimbing tugas akhir saya juga mendukung konsep bahwa 4 x 6 ≠ 6 x 4, sehingga yang benar adalah 6 x 4. Beliau-beliau menganalogikan perbedaan tersebut dengan kejadian nyata. Seperti halnya pada Profesor Yohanes (Ahli Fisika UI) menganalogikan sebagai berikut,

4 x 6 : diketahui empat kotak jeruk dengan isi 6 jeruk setiap kotaknya. (ini yang salah)
6 x 4 : diketahui enam kotak jeruk dengan isi 4 jeruk setiap kotaknya. (ini yang benar) 
Jadi, menurut para ahli matematika hal tersebut merupakan kesepakatan bersama. Ketika terdapat soal 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4 = 24. Walaupun, hasilnya sama tapi prosesnya berbeda .

Sedangkan, Iwan Pranoto ( pengajar di FMIPA ITB) kurangsependapat dengan menuliskan di twitter sebagai berikut
"Ini ilmu alam, bukan matematika. Matematika tidak seperti itu,"
Menurutnya, jika mendefenisikan perkalian dengan situasi di alam atau berdasarkan kejadian di dunia nyata, maka perkalian jadi gagasan yang tergantung alam. Jika suatu pernyataan matematika bertentangan dengan fenomena alam, maka harusnya dibiarkan saja. Karena matematika bukan fenomena alam.
Iwan menambahkan, secara bercanda, matematikawan akan berkata bahwa alam semesta yang tidak ideal. Sehingga akhirnya teori matematika tak sesuai dengan fenomena alam.
Yang salah itu adalah alam semesta, bukan salah matematikanya karena matematika lebih ideal dari kenyataan alam. Persamaan atau pernyataan matematika itu kekal, bahkan lebih kekal dari alam.
(dikutip dari koran online sebelah)
Perdebatan dan perbedaan pendapat tersebut memang mengundang banyak pihak ikut serta dalam memberikan berbagai macam pendapat juga.  Sampai-sampai ada seorang ibu yang berkata "udah deh ggurunya mundur aja nanti saya yang mengajar guru itu" #hehehe #ayakayakwae

Menurut saya pribadi, maaf jika sebelumnya ada yang tidak berkenan :)
Saya tidak akan mengulas mengenai masalah perkalian ataupun matematika aljabar yang melandasinya, karena sudah terlalu banyak komentar-komentar yang diberikan dari pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Anak SD kelas II seharusnya tidak disalahkan serta merta karena kesalahan konsep matematika. Walaupun saya bukan berdisiplin ilmu pendidikan matematika, berjurusan (lulusan) matematika, masih boleh kan saya berpendapat mengenai permasalahan ini. 
Beberapa pakar matematika mengatakan konsep pemahaman guru benar. Namun,sebagai anak SD kelas II apakah mereka paham dan sudah mengenal tentang konsep aljabar. Terlepas bahwa proses memang lebih penting daripada hasil, anak SD yang sedang membentuk logika berfikir "kreatif" apakah harus dibatasi seperti itu?  Telah kita ketahui bahwa dunia pendidikan kita sedang diberlakukan dengan kurikulum 2013. Banyak polemik yang berkembang seiring diberlakukannya kurikulum 2013. Dari murid, orang tua murid, guru, bahkan pakar-pakar pendidikan ikut serta dalam menggarami masalah terkait kurikulum 2013. Banyak yang berpendapat bahwa kurikulum 2013 belum cocok (pantas) digunakan di seluruh tanah air Indonesia. Karena ketidakmantapan konsep kurikulum 2013 dan sarana prasarana yang belum memadai beserta guru yang belum memahami proses pembelajaran yang diberlakukan di kurikulum 2013.

Pada kurikulum 2013, seluruh anak SD berlaku mata pelajaran TEMATIK. Mata pelajaran TEMATIK yaitu untuk kelas 1-3 SD berlaku 5 mata pelajaran (ppkn, bahasa Indonesia, matematika, penjasorkes, sbk) dilebur menjadi satu, sedangkan untuk anak kelas 4-6 SD berlaku 7 mata pelajaran (ppkn, bahasa Indonesia, matematika, penjasorkes, sbk, ipa, & ips) dilebur menjadi satu. Sebagai pribadi yang  pernah (sedang) menulis buku tematik, saya rasa buku tematik perlu banyak perbaikan. Banyak perbaikan mengartikan bukan karena terdapat berbagai hal yang tidak baik dalam penyusunan buku, tetapi konsep pengkajian materi yang belum jelas arah perkembangannya. Banyak murid, orang tua dan guru yang mengeluhkan hal tersebut. Walaupun basic pendidikan saya bukanlah dari fkip (pendidikan) yang diajarkan dan memahami konsep metodologi pengajaran, namun saya dan teman yang memiliki basic mipa (murni) matematika juga pernah (sedang) terjun dalam dunia pengajaran. Sebagai anak kuliah atau lulusan matematika, kami sering menambah penebal dompet  pengalaman dengan mengajarkan les baik privat maupun bimbingan belajar. Terjun dalam dunia pengajaran membuat kita (kurang lebih) mengerti typical peserta didik dan materi pelajaran yang diajarkan.

Sekarang begini 5 mata pelajaran dilebur menjadi satu untuk kelas 1-3 SD, sedangkan 7 mata pelajaran untuk anak kelas 4-6 SD. Untuk anak SD memang benar tidak ditekankan dengan pelajaran yang sulit, sehingga mereka dapat berfikir kreatif. Walaupun mereka masih masa bermain dan berkembang, tetapi anak SD juga memiliki hak untuk berpengetahuan lebih luas dengan pemaham-pemahaman yang mudah.
Banyak keluhan dari anak-anak yang menginjak bangku kelas II SD, pelajarannya kurang bisa dipahami. Belum lagi dari sudut orang yang mengajar, sebagai contoh adik sepupu saya meminta bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Soal yang diberikan guru kurang lebihnya seperti ini
Andi ingin pergi ke kebun binatang, tetapi kakaknya tidak ingin pergi kesana.1. Bagaimana perasaan Andi apabila tidak jadi pergi ke kebun binatan?2. Apakah yang seharusnya dilakukan kakaknya?3. Bagaimana perasaan Kakak apabila jadi pergi ke kebun binatang?Saya yang membantu mengerjakan PR pun juga cukup bingung, karena soal tersebut pastilah dapat dijawab dengan berbagai macam jawaban. Ya, memang ini soal bertujuan untuk membentuk pola pikir yang berkembang dan kreatif. Orang tuanya juga bercerita bahwa kemarin diberi PR dan adik sepupu saya memperoleh nilai nol besar. Cerita dari teman-teman yang mengajar les privat anak-anak SD pun juga begitu. Mereka juga cukup kesulitan mengajarkan pelajaran tematik. Karena materi yang "harus" diajarkan tidak sebanding dengan sumber referensi materi.

Kurikulum 2013 memang memiliki tujuan setiap peserta didik dapat berfikir kreatif dan terampil dalam melakukan kegiatan pembelajaran.  Dan hal tersebut menghasilkan murid yang berfikir kreatif dalam menghadapi kejadian atau permasalahan. Guru pun akan menilai dari hasil pekerjaan dan kegiatan peserta didik berdasarkan sikap spiritual sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Tetapi, apakah tematik benar-benar dapat berjalan di bumi Indonesia yang memiliki beranekaragam perbedaan status (sarana prasarana) pendidikan?


Tematik yang menggabungkan beberapa pelajaran menjadi satu disisi lain mempermudah anak dalam belajar, tetapi disisi lain juga dapat menghambat pengetahuan yang dapat diperoleh oleh sang anak. Seperti halnya pelajaran matematika, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial yang terkandung dalam mata pelajaran tematik yang hanya sepintas. Sedangkan nanti di bangku SMP mereka langsung dijejali oleh mata pelajaran eksak tersebut secara langsung dengan beban atau kadar kesukarannya membuat anak cukup kesulitan. 

Oleh karena itu, konsep perkalian seperti halnya  4 x 6 ≠ 6 x 4  apakah benar sudah diajarkan kepada peserta didik sekolah dasar? Sedangkan diluar sana banyak anak yang kurang memahami antara materi-materi yang dilebur menjadi satu itu. Untuk jenjang kelas I-III SD mungkin tak mengapa, namun untuk jenjang kelas IV-VI SD peserta didik harusnya lebih memahami pengetahuan yang lebih luas dengan bahasa yang lebih ringan. Menurut saya, pelajaran TEMATIK itu BAIK & BAGUS untuk membuka cakrawala bahwa semua pelajaran memiliki hubungan berkesinambungan, namun kembali lagi asupan pengetahuan yang lain harus tetap diberikan dengan bahasa yang ringan. 

Oke terimakasih, it's my opinion, sorry if a lot of words that are less pleasing






No comments: