Peran Ilmuwan Islam Matematika di Abad
Pertengahan
Tony Buzan, penemu dan pengembang metode mind map, menganalogikan
bahwa belajar matematika ibaratnya membangun rumah-rumahan dari kartu. Setiap
kartu harus berada di tempatnya sebelum kartu berikutnya ditambahkan. Kalau ada
kartu yang keliru letaknya atau salah satu saja kartu yang goyah maka seluruh
bangunan rumah-rumahan tersebut akan roboh.
Kalau analogi Buzan tersebut akan dikembangkan dalam wacana
pembelajaran di ruang kelas maka dengan terpaksa kita harus menyoroti
pembelajaran yang diaksanakan oleh guru karena memang gurulah secara formal
yang pertama kali mengenalkan matematika kepada anak-anak. Cukup banyak
anak-anak yang tidak pernah berhasil membangun rumah-rumahan kartu tersebut
bahkan kewalahan di saat-saat awal mereka mengenal matematika karena guru tidak
mampu menguatkan sekaligus mengutuhkan bagian-bagian dari rumah-rumahan kartu
tersebut.
Sudah bukan rahasia bahwa banyak diantara guru-guru kita di
jenjang sekolah dasar yang karena posisinya sebagai guru kelas menjadikan
mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus mengajarkan matematika, mata
pelajaran yang belum tentu menarik baginya bahkan bisa jadi guru tesebut tidak
mengenal matematika secara memadai. Akibatnya, matematika tidak diajarkan
secara utuh melainkan hanya bagian – bagian yang ”dikuasainya” dan meninggalkan
bagian-bagian yang lainnya. Inilah kemudian yang menjadi awal mengapa begitu
banyak anak-anak gagal menyelesaikan rumah-rumahan kartu mereka dan dengan itu pula anak-anak merasa
”frustasi” dan tidak lagi bergairah belajar matematika.
Refleksi Sejarah
Di abad pertengahan, ketika Eropa mengalami zaman kegelapan
(Dark Ages), negeri-negeri Muslim justeru sedang memulai masa pencerahan
budaya, sepanjang Cina di Timur, Asia Barat, Afrika Utara, dan Eropa Barat
Daya, hingga pantai-pantai Samudra Atlantik. Hampir lima abad lamanya, sejak awal abad ke delapan
hingga pertengahan abad ke 12, kaum Muslimin memegang kepemimpinan intelektual
dengan perkembangan yang sangat mengagumkan, bahkan belum pernah terjadi pada
masa-masa kejayaan Yunani sebelumnya.
Berbicara tentang
sejarah kebangkitan intelektual kaum Muslimin dalam kurun waktu tersebut adalah
sungguh menarik dan tidak mungkin dapat diuraikan dalam kolom kecil ini. Namun
hal yang penting untuk dicatat dalam pesan historis tersebut adalah bagaimana
kemudian Imperium Islam ketika itu memulai era budaya dan ilmu pengetahuan
termasuk perkembangan ilmu matematika yang pada akhirnya tidak saja untuk
komunitas Islam tetapi untuk seluruh umat manusia.
Jejak sejarah
tersebut menunjukkan bahwa kunci kesuksesan peradaban Islam dalam periode yang
sering disebut ”zaman keemasan” tersebut yaitu tumbuh suburnya tradisi ilmiah
di kalangan ilmuwan yang tidak memandang agama ataupun ras. Kegiatan
penterjemahan dan riset mendapatkan dorongan dan dukungan yang kuat dari
Khalifah yang didukung oleh keuangan negara. Para
penguasa ketika itu mengerahkan seluruh akses yang dimiliki untuk mengembangkan
kegairahan yang luar biasa dalam mengejar ilmu pengetahuan. Bahkan para
Khalifah meninggalkan istana untuk ”mengurung diri” di perpustakaan dan ruang
observatorim, mengikuti perkuliahan dan membicarakan masalah matematika dengan
para ilmuwan. Maka hasilnya sangat mengagumkan, sederetan nama – nama muncul
sebagai genius matematika yang tidak saja dikenal oleh orang Islam tetapi
mereka sangat terpandang dalam dunia keilmuan di Barat hingga kini. Sebut saja
misalnya Al-Khwarismi, Ibn Al Haytham, Al Biruni, dll.
Satu hal lagi yang
sangat menarik bahwa matematika dalam kurun ”zaman keemasan” itu, adalah salah
satu bidang ilmu yang paling digemari karena ada kaitannya dengan kebutuhan
religi, misalnya untuk menghitung warisan dan kalender Islam, penentuan waktu
shalat, menentukan waktu yang akurat dari gerakan bulan dan bintang, dan
sebagainya. Sebagaimana diungkap oleh Mohaini Mohamed (2001) bahwa matematika
menjadi kegemaran utama bagi kaum muslimin ketika itu karena bidang itu menggabungkan kesatuan dan
karakter abstrak dari pemikiran Islam. Matematika tidak dianggap sebagai ajaran
sekuler, tetapi lebih sebagai sarana untuk menyalurkan pemahaman pada bidang
yang dapat dimengerti. Matematika, menurut kaum muslimin merupakan kunci
menguak misteri tentang Tuhan.
Antusiasme relegius
yang digambarkan diatas sekaligus menorehkan prinsip matematika dari sudut
transendental bahwa Tuhan ada di segala tempat di alam semesta yang di dasarkan
pada prinsip kepastian. Maka seperti yang dibukukan dalam sejarah, perkembangan
dan produktivitas matematika terutama pada abad sembilan dan sepuluh seolah
mengalami keajaiban yang luar biasa dikalangan matematikawan Islam yang
beberapa diantaranya disebutkan tadi.
Matematika kita, Kini dan Disini
Perspektif sejarah
yang diungkap secara singkat di atas kiranya bisa menjadi referensi kecil untuk
merenungkan bagimana potret matematika kita disini, saat ini. Sudahkan kita
(pemerintah, masyarakat, politisi, semua elemen bangsa ini) memberikan
apresiasi secara memadai terhadap persoalan matematika di negeri ini? Saya
cenderung menjawabnya ”belum”. Pembelajaran matematika di sekolah-sekolah kita
hingga saat ini ibarat benang kusut yang sulit diurai. Kita masih berkutat di
sekitar persoalan pembelajaran yang berkaitan dengan model pembelajaran
matematika, alat peraga dan sebagainya, dan beriringan dengan itu kita
dihadapkan kepada kenyataan kemampuan para guru matematika kita yang belum
memadai. Kita seolah mundur beberapa abad dan baru mulai meraba-raba seperti
apa pembelajaran matematika yang kita butuhkan. Kita tidak lagi punya
kesempatan yang luas untuk mengembangkan proses pembelajaran kita ketingkat
yang lebih tinggi (lebih bermakna) semisal membawanya kepada pesan
transendental sebagaimana capaian-capaian yang ditunjukkan para pendahulu kita
beberapa abad yang lalu.
Kemelut itu bahkan
tidak berakhir sampai disitu. Ketika kita kemudian berpikir tentang inovasi,
kita masih terperangkap dalam situasi jangka pendek. Ada terget standar kelulusan pada ujian
nasional – misalnya -- yang menjadi acuan penilaian keberhasilan pembelajaran
di sekolah. Maka kemudian kita gulirkan program –program ”instan” untuk mengatasi
persoalan Ujian Nasional tersebut. Dari tahun ke tahun, hampir semua sekolah
menyiapkan program khusus untuk mengantisipasi ujian nasional tersebut.
Akhirnya kita sulit membantah ketika ada tudingan bahwa pembelajaran di sekolah ”ujung-ujungnya” adalah untuk melayani
kebutuhan ujian dan kelulusan peserta didik. Guru masih kesulitan untuk
beranjak dari peran klasiknya sebagai penerus pengetahuan dan membantu para
siswanya untuk naik kelas dan lulus ujian.
Sebagai implikasinya, pembelajaran matematika, sebagaimana juga mata
pelajaran lain di sekolah saat ini belum banyak menggarap dan mengembangkan
sikap kritis serta kemandirian siswa. Ujian Nasional seolah telah menjadi
kiblat pembelajaran di sekolah. Sebagian besar energi tersedot untuk
kepentingan itu. Singkatnya, penjelajahan kita di bumi pembelajaran matematika
masih terbatas pada issu-issu yang kecil dan parsial. Ini sesuatu yang
paradoksal, ketika kita ingin menggagas sebuah inovasi dengan perspektif jangka
panjang dan strategis, disaat yang bersamaan kita dihadang oleh beban-beban
jangka pendek yang sangat pragmatis, dan keduanya tidak selalu persis berada
pada garis yang sama. Sayangnya kita justeru selalu terjebak pada situasi yang
kedua.
Restarting : Bercermin pada kekuatan kita
Seharusnya kita
sudah ”jenuh” dengan berbagai data tentang kelemahan dan kekurangan bangsa kita
pada berbagai sektor kehidupan. Kita sudah lelah memandangi potret buram
pendidikan kita. Namun, Impactnya secara
positif dari sajian fakta-fakta tersebut ternyata tidak muncul. Bahkan hal itu
sering menjadi bahan tertawaan kita sendiri. Alih-alih merasa ”terketuk” dengan
kenyataan tersebut, malah dikhawatirkan justeru melemahkan self confidence
kita.
Menyikapi hal
tersebut saya menyarankan untuk melakukan semacam restarting. Yaitu dengan cara
menanggalkan bayangan-bayangan kelemahan dan kegagalan dan mulai fokus kepada
kekuatan yang kita miliki. Dengan cara menumbuh suburkan self confidence dan
mulai mengurangi kekaguman yang berlebihan terhadap semua ”produk” dari luar.
Terkait dengan pembelajaran matematika misalnya, kita masih memiliki peluang
besar untuk melakukan inovasi secara optimal. Eksistensi PPPG atau PPPPTK
Matematika dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan simbol sekaligus
situs yang sangat strategis untuk menggagas dan mengembangkan konsep-konsep
inovasi pembelajaran matematika sesuai dengan karakteristik dan realitas
permasalahan pendidikan matematika yang dihadapi. PPPG matematika memiliki SDM
yang tangguh dan networking yang luas dan hal itu cukup memadai untuk
melahirkan suatu inovasi dalam pembelajaran matematika. Dengan melakukan
starting pada wilayah kekuatan kita, berbasis pada permasalahan esensial yang kita hadapai, plus menyerap
muatan-muatan dari berbagai referensi yang relevan, maka peluang kita akan
lebih besar untuk melahirkan konsep yang aplicable dan responsif terhadap
kebutuhan permasalahan pendidikan matematika di sekolah kita. RME versi
Belanda, CTL gaya Amerika dan model-model
lainnya tetap sangat berharga sebagai rujukan, namun model pembelajaran
matematika khas Indonesia
sudah saatnya digagas dan dikembangkan.
Ambil contoh RME-nya Belanda, kalau kita mencoba melakukan
hal serupa meskipun dengan perubahan kemasan disana sini, katakanlah menjadi
PMRI, maka kita tidak akan pernah dapat bersaing dengannya, sebab starting kita
berbeda, mereka tidak mempunyai beban sejarah dan tidak dihantui oleh potret
buram pendidikan yang terpuruk, dan juga tidak sedang dihadapkan kepada
resistensi dari beban-beban jangka pendek sebagaimana di singgung di atas.
Sikap Kritis dan Kemandirian
Di zaman agraris
hingga era industri, peran sekolah begitu dominan dan sosok guru sangat sentral
dalam urusan pembelajaran. Di era tehnologi komunikasi dan internet fenomena
tersebut mengalami pergeseran yang cukup jauh. Dominasi sekolah memudar seiring
dengan lahirnya revolusi yang spektakuler dibidang ICT yang didukung oleh
jaringan internet yang semakin meluas, mudah dan realtif semakin murah. Ini
sebuah isyarat yang kuat bahwa tanpa bermaksud mengecilkan makna kehadiran
sekolah formal namun saat ini dan kedepan, banyak cara yang memungkinkan seseorang bertumbuh
secara intelektual bahkan mungkin juga secara emosional, dan sekolah hanyalah
salah satunya dan bisa jadi sekolah bukan lagi pilihan yang terbaik kecuali
jika sekolah mampu dan mau secara terus menerus melakukan inovasi yang
benar-benar inovatif. Kita liat faktanya bahwa dengan mengakses Net, seorang
anak seketika berhadapan dengan sebuah dunia yang sama sekali berbeda bahkan
mungkin belum dikenal oleh orang tua maupun gurunya. Berjuta informasi tersedia disana. Dan anak tersebut bisa
mengembangkan jaringan sosialnya secara tak terbatas melalui Net. Maka dalam konteks itulah sesungguhnya
pembelajaran di kelas harus mencakup dua domain yang penting yaitu pembentukan
sikap kritis dan kemandirian siswa. Matematika, dengan karakteristik
keilmuannya yang sangat logis, kritis, analitis, serta penuh dengan aktivitas
komunikasi dan penalaran, seharusnya bisa menjadi alat yang efektif untuk
membangun kedua kemampuan dimaksud. Sikap kritis dan kemandirian harus
dijadikan issu penting dalam pemblajaran matematika dan juga mata pelajaran
lain karena peluang yang begitu besar yang ditawarkan oleh Net bisa diibaratkan
pedang bermata dua, salah menggunakan pasti akan menjadi korban.
Sebagai bangsa kita memang telah mangalami multi krisis yang
luar biasa tetapi itu belum berarti ”kiamat”
karena kita masih punya ruang yang amat luas untuk menyatukan seluruh
potensi yang mungkin masih berserakan, dan dengan itu pula kita membangun
optimisme untuk membimbing anak-anak kita membangun utuh rumah-rumahan kartu
mereka untuk menuju rumah yang sesungguhnya yaitu sebuah masa depan yang
bermartabat.
Sumber Referensi: http://p4tkmatematika.com